"Ini adalah rumah sakit apung pertama milik swasta di Indonesia. Saya yakin ini adalah rumah sakit apung pertama dan akan diikuti banyak-banyak lagi rumah sakit lainnya yang pasti akan membawakan keuntungan dan kebahagian bagi bangsa dan negara kita," tegas dr Lie kepada detikHealth.
Gagasan pembuatan rumah sakit apung ini sebenarnya sudah ada di benak dr Lie sejak tahun 2008, namun baru bisa direalisasikan tahun 2013. Lamanya proses ini disebabkan karena adanya pro dan kontra, apalagi referensi mengenai rumah sakit apung di Indonesia belum ada.
Sebenarnya konsep rumah sakit apung di Indonesia sudah ada, namun milik tentara dan hanya digunakan ketika perang, sedangkan yang dimiliki swasta tidak ada. Maka lewat yayasan doctorSHARE yang ia dirikan, dr Lie berupaya menggalang bantuan, baik moriil dan materiil untuk mewujudkan idenya.
Sebagai pilot project, kapal ini melakukan pelayaran perdananya pada 16 - 17 Maret lalu di pulau Panggang, kepulauan Seribu. Pelayanan kesehatan yang diberikan berupa penyuluhan, pemeriksaan kesehatan, bedah minor dan bedah mayor. Sebanyak 25 dokter dan 25 orang relawan disiapkan untuk melayani pasien.
Yang istimewa, Floating Hospital ini dibangun untuk memberikan pelayanan kesehatan cuma-cuma. Dr Lie tergerak hatinya karena melihat kenyataan banyak masyarakat yang membutuhkan pertolongan medis, tapi belum mendapat kesempatan karena berbagai faktor, terutama faktor demografis dan faktor finansial.
"Kami akan berusaha mendapatkan dana dari donatur. Kami akan membuka sebuah klinik di Jakarta dan penghasilannya digunakan untuk membiayai kelangsungan hidup doctorSHARE. Kami belum tahu apa lagi yang dapat kami lakukan untuk mendapatkan dana bagi kelangsungan pelayanan yang terus kami kerjakan. Tapi satu yang menjadi concern kami, masyarakat tidak akan kami bebani dengan pembayaran," ungkap dr Lie.
Dalam sehari, dr Lie berhasil melakukan 3 operasi di atas kapal. Walau kapal sesekali bergoyang karena ombak, dokter yang kesehariannya bertugas sebagai kepala dokter bedah di RS Husada ini bisa melakukan operasi dengan baik. Direncanakan akan ada 15 pasien yang menjalani operasi bedah di atas kapal, sedangkan penyuluhan kesehatan dilakukan di Balai Karang Taruna.
Karena tidak memungut biaya dari pasien, dr Lie berharap bisa menjalin kerjasama dengan aparat-aparat setempat. Misalnya jika di suatu tempat sudah ada puskesmas, dokter setempat diharapkan bisa menjadi ujung tombak mencari pasien yang butuh pelayanan. Hal itu akan mempersingkat waktu singgah sehingga tim bisa melanjutkan ke tempat lain..
Dokter Lie berharap bisa terus melayani, berbagi berkat bagi sesama yang paling membutuhkan. Meski terpisah dari istri dan buah hatinya yang tinggal di Amerika Serikat, ia tetap ingin mengabdikan diri di tanah air. “Sekitar tiga bulan saya ada di Indonesia, lalu biasanya satu bulan menemui istri dan anak-anak,” bebernya.
Lulusan S3 Free University Berlin, Jerman ini, pernah mendapat tawaran bekerja dengan jaminan hidup yang lebih menjanjikan di Jerman. Namun ia justru memilih berpelayanan di bumi nusantara. “Seorang dokter itu hidup dengan mengabdi lewat sesama. Di sini (Indonesia-Red), saya merasa lebih bisa melayani sesama. Yang saya utamakan kualitas pelayanan,” tandas pria kelahiran Padang, Sumatra Barat, 16 April 1946 ini.
“Talenta yang saya punya tak hanya untuk diri sendiri,” demikian Dokter Lie, “tapi saya kembangkan untuk melayani dan menolong sesama yang membutuhkan.”
Published at: April 09, 2015 , Modified at: Juli 19, 2019 , Tags: Dokter Lie Dharmawan KESEHATAN TOKOH